Minggu, 30 Maret 2014

Pertapa Muda dan Kepiting

Suatu ketika di suatu sore yang teduh, tampak seorang pertapa muda sedang bermeditasi di bawah pohon tidak jauh dari tepi sungai.

Saat sedang berkonsentrasi memusatkan pikiran, tiba-tiba perhatian pertapa itu terpecah kala mendengar gemercik air yang terdengar tidak beraturan.

Perlahan-lahan, ia kemudian membuka matanya. Pertapa segera melihat ke arah tepi sungai dimana sumber suara tadi berasal.

Ternyata, disana tampak seekor kepiting yang sedang berusaha keras mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meraih tepian sungai sehingga tidak hanyut oleh arus sungai yang deras.

Melihat hal itu, sang pertapa merasa kasihan. Karena itu, ia segera mengulurkan tangannya ke arah kepiting untuk membantunya. Melihat tangan terjulur, dengan sigap kepiting menjepit jari si pertapa muda.

Meskipun jarinya terluka karena jepitan capit kepiting, tetapi hati pertapa itu puas karena bisa menyelamatkan kepiting.

Kemudian dia melanjutkan kembali pertapaannya. Belum lama bersila dan mulai memejamkan mata, terdengar lagi bunyi suara yang sama dari arah tepi sungai. Ternyata kepiting tadi mengalami kejadian yang sama. Maka si pertapa muda kembali mengulurkan tangannya dan membiarkan jarinya dicapit oleh kepiting demi membantunya.

Selesai membantu untuk kedua kalinya, ternyata kepiting terseret arus lagi. Maka pertapa itu menolongnya kembali sehingga jari tangannya makin membengkak karena jepitan capit kepiting.

Melihat kejadian itu, ada seorang lelaki tua yang kemudian datang menghampiri dan menegur si pertapa muda, “Anak muda, perbuatanmu menolong adalah cerminan hatimu yang baik. Tetapi mengapa demi menolong kepiting engkau membiarkan capit kepiting melukaimu hingga sobek seperti itu?”

“Bapak, seekor kepiting memang menggunakan capitnya untuk memegang benda dan saya sedang melatih mengembangkan rasa belas kasih”.

“Maka, saya tidak mempermasalahkan jari tangan ini terluka asalkan bisa menolong nyawa makhluk lain, walaupun hanya seekor kepiting.” Jawab si pertapa muda dengan kepuasan hati karena telah melatih sikap belas kasihnya dengan baik.

Mendengar jawaban si pertapa muda, kemudian lelaki tua itu memungut sebuah ranting yang sudah kering. Ia lantas mengulurkan ranting kering itu ke arah kepiting yang terlihat kembali melawan arus sungai. Segera kepiting menangkap ranting itu dengan capitnya.

“Lihatlah, anak muda. Melatih mengembangkan sikap belas kasih memang baik, tetapi harus pula disertai dengan kebijaksanaan. Bila tujuan kita baik, yakni untuk menolong makhluk lain, bukankah tidak harus mengorbankan diri sendiri? Ranting pun bisa kita manfaatkan. Betul, kan?” ucap lelaki tua.

Seketika itu, si pertapa muda tersadar. “Terima kasih, Bapak. Hari ini saya belajar sesuatu.”


****
Mempunyai sifat belas kasih, mau memperhatikan dan menolong orang lain adalah perbuatan mulia. Entah perhatian itu kita berikan kepada anak kita, orangtua, saudara, teman, atau kepada siapapun. Tetapi kalau cara kita salah, sering kali perhatian atau bantuan yang kita berikan bukannya menyelesaikan masalah namun justru menjadi bumerang. Kita yang tadinya tidak tahu apa-apa dan hanya sekedar berniat membantu, malah harus menanggung beban dan kerugian yang seharusnya tidak perlu.


Karena itu, adanya niat dan tindakan berbuat baik, seharusnya diberikan dengan cara yang tepat dan bijak. Dengan begitu, bantuan itu nantinya tidak hanya akan berdampak positif bagi yang dibantu, tetapi sekaligus membahagiakan dan membawa kebaikan pula bagi kita yang membantu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar